BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Secara umum masalah pendidikan merupakan
masalah yang sangat penting dan tidak
bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia
memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkannya
pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan merupakan suatu perbuatan,
tindakan dan praktek. Namun demikian
pendidikan tidak dapat diartikan sebagai satu hal yang mudah, sederhana dan
tidak memerlukan pemikiran, karena istilah pendidikan sebagai praktek,
mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuan. Proses pendidikan bukan
hanya sekedar lahiriah dan suatu perilaku kosong saja. Pendidikan diarahkan
untuk mencapai maksud arah dan tujuan ke arah sikap, perilaku dan kemampuan
serta pengetahuan yang diharapkan akan menjadi pegangan bagi anak didik dalam
melaksanakan tugas hidupnya secara bertanggungjawab dan dapat menjadi manusia seutuhnya
sebagaimana tujuan yang diharapkan.
Sistem pendidikan
merupakan salah satu cara paling berkuasa negara dalam mencampuri proses reproduksi
hubungan-hubungan sosial. Hal itu tercermin di dalam kebijakan dan praktik pendidikan. Pengalaman-pengalaman di sekolah adalah faktor kunci bagaimana
individu dialokasikan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Tuntutan dunia kerja
dan industri telah pula menjadi pusat perhatian dan pembicaraan di kalangan
masyarakat.Begitu jugadalam laporan dan dokumen-dokumen yang ada cukup
memberikan gambaran tarik ulur antara sistem pendidikan dengan
pelatihan-pelatihan yang dianggap lebih realistis dalam memenuhi tuntutan dunia
kerja. Di sisi lain munculnya sosiologi pendidikan lebih banyak membahas
tentang masalah organisasi dan budaya dengan lebih menekankan pada aspek
reproduksi struktur klas (klas buruh khususnya), serta pada nilai hubungan
perempuan dan laki-laki.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Apakah
pengertian darireproduksi sosial?
2.
Bagaimanakah proses
lahirnya teori reproduksi sosial?
3.
Bagaimana
Proses Reproduksi Budaya?
4.
Bagaimanakah
hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial?
C.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar
mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1.
Pengertian
reproduksi sosial.
2.
Proses lahirnya
teori reproduksi sosial.
3.
Proses
Reproduksi Budaya
4.
Hubungan antara
pendidikan dengan reproduksi sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Reproduksi Sosial dan Budaya
1.
Reproduksi
Sosial
Reproduksi berasal dari bahasa Inggris re yang berarti kembali dan production yang berarti produksi atau
yang dihasilkan. Sedangkan dalam Kamus Praktis Bahasa Indonesia kata
reproduksi diartikan hasil pembuatan ulang. Istilah reproduksi digunakan dalam beberapa hal dalam sosiologi. Dalam setiap penggunaan,
istilah reproduksi mengandung arti penggantian orang atau struktur dengan satu
format baru yang mirip dengan yang asli, sehingga sistem sosial dapat
berlangsung terus. Definisi dasar dari reproduksi adalah memproduksi lagi atau
membuat salinan.
Reproduksi juga dapat
berarti menyalin apa yang ada di masa lalu, dan ini tidak mungkin terjadi
dengan cara yang tepat untuk masyarakat secara keseluruhan. Selalu ada kondisi
yang berubah baik menyangkutlingkungan, sosial, maupun ekonomi seiring dengan proses
perkembangan teknologi. Ada orang baru yang memiliki karakteristik yang
berbeda; seseorangberinteraksi dengan orang lain dengan cara baru dan berbeda
pula.
Istilah reproduksi sosial berbeda dengan
produksi secara umum. Istilah produksi pada umumnya mengacu
pada produksi barang dan jasa sebagai komoditas
(atau mungkin sebagai barang publik seperti jalan atau infrastruktur
telekomunikasi) dalam perekonomian.
Pada tingkat nasional, ini diukur dengan Produk Nasional Bruto (PNB), jumlah
total barang dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara, suatu ukuran yang dapat
ditentukan cukupakurat. Sebaliknya, reproduksi sosial mengacu pada tugas,
bersama-sama dengan barang dan jasa, yang kesemuanya diperlukan untuk memastikan bahwa reproduksi sosial sedang
terjadi. Tidak seperti produksi dalam perekonomian, banyak reproduksi sosial
terjadi dalam rumah tangga dalam
bentuk waktu dan energi yang dihabiskan mengurus diri sendiri atau orang lain.
Beberapa reproduksi sosial juga terjadi di lembaga publik seperti sekolah dan di lembaga-lembaga relawan dan organisasi non-pemerintah.Penekanan
dari reproduksi sosial adalah untuk
menyertakan reproduksi sosial sebagai
kegiatan sosial yang bermakna yang diakui oleh semua pihak dan biaya
yang dibutuhkan juga ditanggung secara bersama-sama.
Merujuk pada uraian di atas maka reproduksi
sosial dapat diartikan sebagai proses untuk melestarikan atau melanggengkan
karakteristik struktur sosial tertentu atau tradisi tertentu selama periode
waktu tertentu juga.
2.
Reproduksi
Budaya
a)
Reproduksi kebudayaan adalah proses
penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal
ini menegaskan kebudayaan asalnya. Sedangkan proses reproduksi budaya merupakan
proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga
mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Dengan kata lain reproduksi budaya merupakan penegasan
budaya asli ke tempat tinggal yang baru.
b)
Reproduksi kebudayaan
dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial,
latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi
identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah, 2001; Anderson,
1991; Barth, 1998). Reproduksi budaya ialah bertemunya dua budaya yang
berbeda dan satu sama lain saling mempengaruhi sehingga timbul kebudayaan baru
yang mengandung unsur dua kebudayaan tersebut.
c)
Salah satu tokoh sosiologi
kontemporer, yakni Peirre Bourdieu juga mengemukakan kajian analitisnya tentang
reproduksi kebudayaan. Melalui konsepnya tentang habitus dan arena serta
hubungan dialektis antara keduanya, Bourdieu mengemukakan analitisnya tentang
reproduksi kebudayaan.
d)
Habitus adalah “struktur mental atau
kognitif” yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali
dengan skema yang terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi,
memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema inilah
orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Bourdieu, 1998:
18). Sebenarnya, kita dapat menganggap habitus sebagai “akal sehat” (common
sense) (Holton, 2000). Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya
posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Habitus bervariasi tergantung
pada sifat posisi seseorang di dunia sosial, tidak semua orang memiliki habitus
yang sama. Namun, mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung
memiliki habitus yang sama (Bourdieu, 1990: 13). Sedangkan di dalam kamus
sosiologi habitus yaitu perpaduan berbagai kecenderungan sehingga
tindakan dan sikap pada kehidupan sehari-hari menjadi kebiasaan sehingga
akhirnya diterima begitu saja.
e)
Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang
di dalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, simbolis)
yang digunakan dan dimanfaatkan. Ada sejumlah arena semi otonom di dunia sosial
(misalnya, artistik, religius, perguruan tinggi), yang kesemuanya memiliki
logika spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan aktor
tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan di suatu arena. Bourdieu melihat arena,
menurut definisinya, sebagai arena pertempuran: “Arena juga merupakan arena
pertempuran” (Bourdieu dan Wacquant, 1992: 101). Kalau habitus ada di dalam
pikiran aktor, maka arena berada di luar pikiran mereka.
f)
Dalam karyanya yang berjudul
Distinction, Bourdieu menerangkan penerapan habitus dengan arena. Dalam
karyanya tersebut, ia mencoba menunjukkan bahwa kebudayaan dapat menjadi objek
sah dari study ilmiah, hal yang lebih spesifik lagi dari kebudayaan, dia menganalisis
selera akan masakan yang dimasak khusus dan berselera tinggi dengan makanan
yang hanya terbuat dari bahan-bahan pokok. Selera, menurut Bourdieu merupakan
praktik yang di antaranya memberi individu, maupun orang lain, pemahaman akan
statusnya di masyarakat. Selera menyatukan mereka yang berada pada posisi yang
sama dan membedakannya dari mereka yang memiliki selera berbeda. Secara
langsung maupun tidak, dengan selera maka orang akan mengklasifikasikan dirinya
sendiri pada tataran kelas-kelas sosial tertentu. Selera adalah kesempatan baik
untuk menyatakan posisi seseorang dalam arena dan membawa dampak bagi kemampuan
seseorang yang berada kelas yang tinggi untuk lebih mampu membuat selera mereka
diterima dan menentang selera mereka yang berada pada kelas yang lebih rendah.
g)
Bourdieu menghubungkan selera dengan
salah satu konsep utamanya yaitu habitus. Selera lebih banyak dibentuk oleh
penempatan-penempatan yang membentuk kesatuan tak sadar suatu kelas dan
mengakar kuat serta bertahan lama, habitus memberikan kita akan pemahaman makna
akan bentuk dari hasil kebudayaan seperti perabot, pakaian, dan masakan.
Bourdieu selanjutnya mengemukakannya dengan lebih menarik: “selera adalah
pengatur pertandingan……yang didalamnya habitus menegaskan kedekatannya dengan habitus
lain” (1984a: 243). Kendati arena dan habitus adalah dua hal penting bagi
Bourdieu, namun yang paling penting adalah hubungan dialektis diantara
keduanya; bahwa arena dan habitus saling memberi arti satu sama lain. Dalam
bentuk yang lebih umum, Bourdieu menjelaskan: “terdapat hubungan erat antara
posisi sosial dan disposisi agen yang mendudukinya” (1984a: 110). Dalam
kehidupan masyarakat, suatu tindakan yang sama dapat memperoleh suatu makna dan
nilai yang berbeda atau bahkan bertolak belakang jika dilakukan di arena yang
berbeda, di konfigurasi yang berbeda, atau di sektor yang saling bertolak
belakang di arena yang sama.
B.
Proses Lahirnya Teori Reproduksi Sosial
Perspektif
tentang reproduksi sosial merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori konflik-nya
Karl Mark–perlu
difahami lebih dulu tentang latar belakang
pemikiran Mark yakni adanya eksploitasi
besar-besaran yang dilakukan oleh para pemilih modal/pengusaha (kaum kapitalis
yang dikenal juga dengan istilah kaum borjuis) terhadap kaum buruh (yang
disebut juga dengan kaum proletar).
Teori konflik
menekankan adanya konflik sebagai faktor terjadinya perubahan sosial. Berbeda
dengan teori fungsional yang menghendaki keseimbangan dan stabilitas dan menghindari perubahan sosial, teori ini lebih menekankan
terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan sesuatu yang harus
diwujudkan di masyarakat. Faktor utama yang mendorongterjadinya perubahan
sosial adalah adanya konflik yang terjadi di masyarakat. Menurut Marx perubahan
tidak saja dianggap normal, tetapijustru dibutuhkan dan terus didorong untuk
menghilangkan ketidakadilan. Sehingga teori ini menekankan masyarakat sebagai
subyek perubahan. Menurut perspektif ini, seluruh sistem pendidikan adalah alat
untuk menyebarkan ideologi kelompok dominan. Sehingga, pendidikan merupakan
sarana untuk mencapai kemakmuran dan status seseorang. Ketika seseorang gagal
dalam mencapai tujuan itu, menurut mitos tersebut, adalah hanya karena
kesalannya sendiri bukan karena penyebab di luar dirinya.
Kaum Marxis
meyakini bahwa kontradiksi material adalah asal-muasal dari segala sesuatu yang
membuat hubungan antara sesama menjadi centang-perentang. Manusia didorong oleh
insting (naluri) untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan adalah kontradiksi
(masalah) karena ia membutuhkan jawaban atau perlu diatasi. Karl Mark
menyebutnya sebagai sebuah tatanan sosial.6Sosialisme dianggap sebagai muara
dari evolusi hubungan manusia yang sejati karena di dalamnya kontradiksi dalam
hubungan produksi setara, berbeda dengan kapitalisme yang mana alat-alat
produksi dikuasai secara monopolis oleh sedikit orang (kapitalis). Sosialisme
menghendaki adanya sosialisasi alat-alat produksi dan sumber-sumber ekonomi,
kepemilikan pribadi (private property) terutama bagi aset-aset vital dan
menentukan hajat hidup orang banyak. Kepemilikan itulah yang menjadi sumber
kontradiksi hubungan antar manusia.
Pendekatan
Marxis menyebutkan tiga hal yang menjadi pokok persoalan dalam hubungan sosial
yakni: Deterministik bahwaseseorang tidak punya pilihan karena masa depan
mereka ditentukan oleh struktur ekonomi dan posisi mereka di dalamnya;
Struktural bahwaapapun yang dilakukan seseorang dalam
struktur ekonomi akan berakhir pada reproduksi itu sendiri; danMaterialis bahwa
muara dari hubungan sosial terpusat pada bahan serta kondisi ekonomi, struktur
ekonomi dan pekerjaan.
Perspektif
ini kemudian dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang lantas melahirkan teori
reproduksi sosial. Dua konsep utama dan
krusial bagi karya Bourdieu adalah istilah habitus dan ranah
(field). Konsep-konsep penting tersebut ditopang oleh sejumlah ide lain seperti
kekuasaan simbolik, strategi dan perjuangan (kekuasaan simbolik dan material),
beserta beragam jenis modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik.
Habitus
adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial.
Habitus juga merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman
individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang
ada di dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan sebagai skema-skema yang
merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas social. Dalam
perjalanan hidupnya manusia memiliki skema yang terinternalisasi dan melalui
skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami menghargai serta mengevaluasi
realitas social. Berbagai skema tercakup didalam habitus seperti konsep ruang,
waktu, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna-tidak berguna,
benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan, indah-jelek,
terhormat-terhina. Skema tersebut diwujudkan didalam istilah sebagai hasil
penamaan. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka
acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam setiap keseharian mereka.Skema
tersebut diatas dapat dicontohkan dengan skema “sakit” yang merujuk pada suatu
kondisi fisik yang tidak menyenangkan yang dialami oleh manusia. Karena sakit
tidak menyenangkan maka tindakan manusia harus diarahkan untuk menghindarinya,
termasuk menghindari orang-orang yang mungkin menyebabkan munculnya kondisi
sakit.
Habitus
juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural yakni pengaruh sejarah
yang tidak disadari dianggap alamiah. Oleh karena itu habitus bukanlah
pengetahuan ataupun ide bawaan. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk
setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu
teretentu. Habitus menurut Bourdieu merupakan hasil pembelajaran melalui
pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan masyarakat di dalam arti
luas. Pembelajaran yang dilakukan terkadang tidak kita sadari dan secara halus
dan tampil sebagai sesuatu yang wajar, sehingga akan kelihatan alamiah atau
berasal dari sananya. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang
mengenai dunia yang memberikan konstribusi tersendiri pada realitas dunia itu.
Habitus juga berubah-ubah yang mengupayakan adanya kompromi dengan kondisi
material. Hal ini akan memberikan konstribusi baru untuk membangun sebuah
prinsip baru untuk memunculkan sebuah praktik di dalam individu.
Bourdie
menekankan bahwa habitus adalah konstruksi perantara bukan konstruksi yang
mendeterminasi. Habitus juga merupakan sebuah sifat yang tercipta karena
kebutuhan. Habitus berhubungan dengan harapan-harapan dalam kaitannya dalam
bentuk modal yang secara erat diimbangi dengan berbagai kemungkinan obyektif.
Habitus secara erat dihubungkan dengan modal karena sebagian habitus tersebut
yang berupa fraksi sosial dan budaya berperan sebagai pengganda berbagai jenis
modal. Dan pada kenyataannya ia menciptakan sebentuk modal simbolik didalam dan
dari diri mereka sendiri.
Ranah
diartikan sebagai sesuatu yang dinamis dimana ranah merupakan kekuatan yang
bersifat otonom dan didalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan
ini di pandang mentransformasikan atau mempertahankan ranah kekuatan.
Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal untuk para aktor yang berlokasi
di ranah tersebut. Ketika posisi telah dicapai maka mereka dapat melakukan
interaksi dengan habitus untuk menghasilkan sikap-sikap yang berbeda dan
memiliki efek tersendiri pada ekonomi.
Bourdieu
mencoba memberikan contoh ranah yang digambarkan di dalam analisisnya tentang
pendidikan tinggi di Prancis, dimana penggambaran ranah ada pada seluruh
fakultas, grande ecole, petite ecole dan sekolah-sekolah tinggi teknik. Aspek
utama yang mengkarakteristikkan seluruh institusi ini dan juga mahasiswa yang
beserta aspirasi yang mereka miliki tentang pendidikan merupakan integrasi
antara praktik pendidikan dan struktur objektif. Mahasiswa Paris berhadapan
dengan berbagai prospek kerja yang sangat bergantung pada kualitas gelar mereka
dan pada peringkat sebagai simbolik dan objektif sekolah tersebut di dalam
ranah pendidikan. Sehingga ranah bukanlah suatu konstruksi teoritis yang
diberlakukan secara apriori, tetapi suatu konstruksi yang hanya dapat
ditentukan melalui riset empiris dan penelitian etnografis.
Ruang
sosial sebagai bentuk dari ranah memandang realitas sosial sebagai topologi
(ruang) yang terdiri dari beragam ranah yang memiliki sejumlah hubungan antara
satu dengan yang lainnya. Ruang sosial hendaknya dilihat pada tingkat abstraksi
yang lebih tinggi sebagai sebuah ranah kekuatan. Ide mengenai ruang sosial
tidak dapat dipaksakan secara apriori melainkan harus dimengerti dari
pengamatan empiris, coraknya yang tepat, dan konfiguirasi kekutan-kekuatannya
yang diperoleh dari bukti yang tersedia.
Bourdieu
dipandang telah mampu menjelaskan secara komprehensif bagaimana terjadinya
praktik sosial. Bourdieu berhasil merumuskan sebuah teori tentang praktik
sosial yang memberi kerangka bagi analisis terhadap kehidupan sosial secara
indigenous. Dengan konsep habitus, ranah, modal atau kapital dan praktik yang
dapat digunakan untuk menggali keunikan yang ada didalam masyarakat mulai dari
karakteristik subjektif individu sampai karakteristik dari struktur objektif.
Konsep tersebut digunakan untuk memahami hubungan antara agensi dan struktur
yang tidak linier dan khas yang ada di dalam masyarakat. Dengan metode tersebut
kita dapat memahami bagaimana sebuah nilai, norma, pengetahuan dan tindakan
sosial itu terbentuk.
C.
Proses Reproduksi Budaya
Reproduksi budaya merupakan proses
presentasi budaya asal terhadap budaya yang didatangi atau lingkungan baru.
Proses reproduksi budaya adalah proses aktif yang melatarbelakangi seseorang
melakukan adaptasi terhadap budaya yang berbeda. Proses reproduksi budaya dapat
terjadi melalui mobilitas sosial yang dilakukan oleh seseorang, dari mobilitas
sosial tersebut terjadi perubahan dalam wilayah tempat tinggal, latar belakang
budaya, yang akhirnya menjadi warna bagi budaya.
Mobilitas sosial adalah proses suatu
gerakan atau perpindahan yang dilakukan oleh seseorang baik itu secara vertical
ataupun horizontal. Dengan mobilitas sosial seseorang akan mendapatkan
nilai-nilai baru yang berbeda dari budaya yang dimilikinya. Mobilitas yang
dilakukan oleh seseorang akan menyebabkan perubahan dalam beberapa aspek seperti
perubahan lingkunagn tempat tinggal, perbedaan pada latar belakang budaya.
Setelah hal itu terjadi akan muncul dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama,
terjadi adaptasi cultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim,
yang menyangkut adapatasi nilai dan praktik keeidupan secara umum.kebuadayaan
local menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang,
meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Kedua, proses pembentukan
identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya.
Bahkan mampu ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru.
D.
Hubungan antara
Pendidikan dengan Reproduksi Sosial dan Budaya
Ada pandangan yang kuat di kalangan para
pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar mengajar,
di antaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari
kepentingan politik dan sistem sosial ekonomi dalam kekuasaan yang ada. Oleh
karena itu, hakikat pendidikan bagi golongan mereka tidak lebih sebagai sarana
untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil, seperti sistem
kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Pandangan
seperti ini sering disebut dengan pendidikan sebagai reproduksi sosial.
Pola pendidikan semacam ini telah lama
dijalankan oleh bangsa Indonesia. Pola pendidikan ini telah melahirkan
orang-orang yang siap dipakai untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Out-put
pendidikan seperti ini adalah orang-orang yang diatur sedemikian rupa untuk
mengisi kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini, pendidikan adalah wahana
penjinakan atau alat hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok dominan. Proses
aktualisasi dalam belajar mengajar seperti ini adalah sama dengan yang dikritik
oleh Paule Freire dengan teori Banking Concept of Education (BCE).
Menurut Freire, setidaknya terdapat tiga asumsi
—yang menurutnya tidak tepat— yang melatarbelakangi BCE. Pertama, pemahaman yang keliru tentang
manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya
dikotomi antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan
bukan bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah
penonton dan bukan re-kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat
diatur dan dikuasai sepenuhnya. Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke
dalam tindakan belajar mengajar di kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh
dalam memilih dan menentukan bahan yang akan diajarkan, sedangkan murid harus
beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta berperan untuk menghafalkan
bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok yang mempunyai
pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar adalah
proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada murid. Hubungan guru-murid
adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran,
metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat
diprediksi. Apa yang akan dihasilkan oleh BCE? Menurut Freire, BCE tidak akan
mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan
menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa
mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada
dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah
menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam
dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan
baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah
yang “cocok” dengan dunia.
Lebih lanjut, Freire menegaskan bahwa
pendidikan adalah memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat dari
suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya
membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan sebagai bagian
dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi.
Reproduksi sosial menuntut suatu proses
legitimasi. Ideologi “kesetaraan kesempatan” telah dicanangkan melalui suatu
ingatan bahwa kekuatan sosial terlihat dalam bentuk pertukaran ekonomis, dan
karena itu pasar kehilangan kredibilitasnya secara juju. Sejumlah penulis
berpendapat bahwa ideologi balas jasa telah menempatkan dirinya sebagai tema
yang tersahkan. Hal ini mengacu pada standar pencapaian, upaya perorangan,
keterbatasan dan kehendak yang berbaur dengan pengertian rumusan kemampuan
dalam hubungannya dengan tuntutan teknologi masyarakat yang maju. Ada bentuk
lain bagaimana ideologi “balas jasa” meningkat pesat, dalam arti, tak hanya
dalam bentuk pengakuan formal kemajuan melainkan juga melalui atribut pribadi
yang ‘bukan sebagai kepribadian’. Kepicikan pengertian ini mencuat sebagai
upaya pembenaran atas proses seleksi yang terjadi, alokasi, dan penghargaan
sosial. Hal ini memerlukan suatu fleksibilitas dalam hubungannya dengan sistem
pekerjaan. Keterkaitan antara pengakuan formal akademis yang cocok dengan jenis
pekerjaan tertentu dan pribadi yang memegang gelar diabaikan dengan melibatkan
karakter kepribadian menjadi pernilaian.
Tentu saja proses ini selalu terjadi, namun
kini makin terlembagakan di sekolah-sekolah dan di tempat-tempat kerja. Proses
ini terkait langsung dengan kebutuhan perorangan akan keterampilan-keterampilan
di berbagai pangsa pasar kerja yang berbeda-beda. Proses tersebut terpaut
langsung dengan kebutuhan perkembangan keterampilan-keterampilan pribadi dalam
berbagai segmen pasar kerja. Sebagai isi ideologi yang selalu berubah maka
perubahan itu juga terjadi di dalam praktik sosial yang menguatkan pengetahuan
dunia sosial.
Tak hanya sebatas itu, relasi dan praktik
sosial juga suatu bentukan ideologis dan melayani kepentingan alami ideologi
bersangkutan. Hal ini menjadi persoalan penting dalam analisa reproduksi sosial
yang menitik-beratkan pada ideologi sebagai kumpulan gagasan yang tak
terpisahkan dari praktik sosial. Althusser tidak mempertimbangkan persoalan
mediasi dan kontradiksi antara aparat ideologi dan lembaga.9 Althusser betul
ketika beranggapan bahwa kompleks sekolah-keluarga merupakan ruang utama untuk
mereproduksi relasi sosial suatu produksi. Namun dari sudut pandang feminis,
justru penting mencari jalan keluar dari berbagai pertentangan itu daripada
sekadar menganalisa kompleks ‘sekolah-keluarga’ yang saling menekan satu sama
lain dalam rangka mempersiapkan orang masuk ke pasar kerja. Kompleks
‘sekolah-keluarga’ adalah arena yang menentukan bagi reproduksi sosial
‘femininitas’ dan ‘maskulinitas’. Namun demikian, lembaga keluarga dan sistem
pendidikan hanya institusi pedagogis, dan diyakini demikian. Tak hanya keluarga
atau sekolah sebagai lembaga yang meneruskan proses reproduksi sosial, tetapi
juga ideologi berkuasa keluarga dan sistem pendidikan menjadi tempat bagi
pembelajaran dan sosialisasinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan
makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Reproduksi
sosial ialahpenggantian orang atau
struktur dengan satu format baru yang mirip dengan yang asli, sehingga sistem
sosial dapat berlangsung terus. Dalam reproduksi sosial terkandung proses untuk
melestarikan atau melanggengkan karakteristik struktur sosial tertentu atau
tradisi tertentu selama periode waktu tertentu juga.
2.
Lahirnya teori reproduksi sosial diawali dari teori konflik-nya
Karl Mark yangmenekankan adanya
konflik sebagai faktor terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan
sesuatu yang harus diwujudkan di masyarakat. Faktor utama yang
mendorongterjadinya perubahan sosial adalah adanya konflik yang terjadi di masyarakat.Perspektif
ini kemudian dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang lantas melahirkan teori
reproduksi sosial.
3.
Pendidikan
sebagai reproduski sosial memandang bahwa pendidikan merupakan sarana untuk
mereproduksi sistem dan struktur sosial seperti sistem kelas, relasi gender,
relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Di sinilah terjadinya hubungan
antara pendidikan dengan reproduksi sosial.
B.
Saran
Sebagai manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan dan
karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, maka kami mohon kepada
rekan-rekan mahasiswa dan Papak dosen kiranya dapat mengoreksi makalah ini,
jika terdapat kesalahan-kesalahan baik dalam penyajian materi maupun segi
penulisan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan sehingga dapat
menjadi bahan acuan bagi penulisan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Wojowasito
& Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris
Indonesia, (Bandung: Hasta, 1980), h. 160.
Leonard D.
Marsam, Kamus Praktis Bahasa Indonesia,
(Surabaya: CV. Karya Utama, 1983), h. 221.
Dalam:http://uregina.ca/~gingrich/feb2498.htm, diakses, 12 Juni 2012.
Dalam:http://www.answers.com/topic/social-reproduction#ixzz1xp
MD9 AVx, diakses, 12 Juni 2012.
Dalam:http://fixguy.wordpress.com/sosiologi-lengkap-banget/,
diakses, 12 Juni 2012.
Nurani Soyomukti,Teori-teori
pendidikan, (Bandung: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 351.
Dalam:http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2216480-definisi-sosiologi-pendidikan/#ixzz1xpAlD9xJ, diakses, 12 Juni 2012.
Dalam:http://www.seabs.ac.id/journal/oktober2001/Mengenal%20Filsafat%20Pendidikan%20Paulo%20Freire.pdf, diakses, 12 Juni 2012.
Dalam: http://e-kalyanamitra.blogspot.com/2007/03/pendidikan-dan-reproduksi-sosial-sistem.html, diakses, 12
Juni 2012.
EmoticonEmoticon