REPRODUKSI SOSIAL



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Secara umum masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat  penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan merupakan suatu perbuatan, tindakan  dan praktek. Namun demikian pendidikan tidak dapat diartikan sebagai satu hal yang mudah, sederhana dan tidak memerlukan pemikiran, karena istilah pendidikan sebagai praktek, mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuan. Proses pendidikan bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu perilaku kosong saja. Pendidikan diarahkan untuk mencapai maksud arah dan tujuan ke arah sikap, perilaku dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan akan menjadi pegangan bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara bertanggungjawab  dan dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana tujuan yang diharapkan.
Sistem pendidikan merupakan salah satu cara paling berkuasa negara dalam mencampuri proses reproduksi hubungan-hubungan sosial. Hal itu tercermin di dalam kebijakan dan praktik pendidikan. Pengalaman-pengalaman di sekolah adalah faktor kunci bagaimana individu dialokasikan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Tuntutan dunia kerja dan industri telah pula menjadi pusat perhatian dan pembicaraan di kalangan masyarakat.Begitu jugadalam laporan dan dokumen-dokumen yang ada cukup memberikan gambaran tarik ulur antara sistem pendidikan dengan pelatihan-pelatihan yang dianggap lebih realistis dalam memenuhi tuntutan dunia kerja. Di sisi lain munculnya sosiologi pendidikan lebih banyak membahas tentang masalah organisasi dan budaya dengan lebih menekankan pada aspek reproduksi struktur klas (klas buruh khususnya), serta pada nilai hubungan perempuan dan laki-laki.
B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1.             Apakah pengertian darireproduksi sosial?
2.             Bagaimanakah proses lahirnya teori reproduksi sosial?
3.             Bagaimana Proses Reproduksi Budaya?
4.             Bagaimanakah hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial?
C.           Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1.             Pengertian reproduksi sosial.
2.             Proses lahirnya teori reproduksi sosial.
3.             Proses Reproduksi Budaya
4.             Hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Reproduksi Sosial dan Budaya
1.      Reproduksi Sosial
Reproduksi berasal dari bahasa Inggris re yang berarti kembali dan production yang berarti produksi atau yang dihasilkan. Sedangkan dalam Kamus Praktis Bahasa Indonesia kata reproduksi diartikan hasil pembuatan ulang. Istilah reproduksi digunakan dalam beberapa hal dalam sosiologi. Dalam setiap penggunaan, istilah reproduksi mengandung arti penggantian orang atau struktur dengan satu format baru yang mirip dengan yang asli, sehingga sistem sosial dapat berlangsung terus. Definisi dasar dari reproduksi adalah memproduksi lagi atau membuat salinan.
Reproduksi juga dapat berarti menyalin apa yang ada di masa lalu, dan ini tidak mungkin terjadi dengan cara yang tepat untuk masyarakat secara keseluruhan. Selalu ada kondisi yang berubah baik menyangkutlingkungan, sosial, maupun ekonomi seiring dengan proses perkembangan teknologi. Ada orang baru yang memiliki karakteristik yang berbeda; seseorangberinteraksi dengan orang lain dengan cara baru dan berbeda pula.
Istilah reproduksi sosial berbeda dengan produksi secara umum. Istilah produksi pada umumnya mengacu pada produksi barang dan jasa sebagai komoditas (atau mungkin sebagai barang publik seperti jalan atau infrastruktur telekomunikasi) dalam perekonomian. Pada tingkat nasional, ini diukur dengan Produk Nasional Bruto (PNB), jumlah total barang dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara, suatu ukuran yang dapat ditentukan cukupakurat. Sebaliknya, reproduksi sosial mengacu pada tugas, bersama-sama dengan barang dan jasa, yang kesemuanya diperlukan untuk  memastikan bahwa reproduksi sosial sedang terjadi. Tidak seperti produksi dalam perekonomian, banyak reproduksi sosial terjadi dalam rumah tangga dalam bentuk waktu dan energi yang dihabiskan mengurus diri sendiri atau orang lain. Beberapa reproduksi sosial juga terjadi di lembaga publik seperti sekolah dan di lembaga-lembaga relawan dan organisasi non-pemerintah.Penekanan dari reproduksi sosial  adalah untuk menyertakan reproduksi sosial sebagai kegiatan sosial yang bermakna yang diakui oleh semua pihak dan biaya yang dibutuhkan juga ditanggung secara bersama-sama.
Merujuk pada uraian di atas maka reproduksi sosial dapat diartikan sebagai proses untuk melestarikan atau melanggengkan karakteristik struktur sosial tertentu atau tradisi tertentu selama periode waktu tertentu juga.
2.             Reproduksi Budaya
a)             Reproduksi kebudayaan adalah proses penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya. Sedangkan proses reproduksi budaya merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dengan kata lain reproduksi budaya merupakan penegasan budaya asli ke tempat tinggal yang baru.
b)            Reproduksi kebudayaan dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah, 2001; Anderson, 1991; Barth, 1998). Reproduksi budaya ialah bertemunya dua budaya yang berbeda dan satu sama lain saling mempengaruhi sehingga timbul kebudayaan baru yang mengandung unsur dua kebudayaan tersebut.
c)             Salah satu tokoh sosiologi kontemporer, yakni Peirre Bourdieu juga mengemukakan kajian analitisnya tentang reproduksi kebudayaan. Melalui konsepnya tentang habitus dan arena serta hubungan dialektis antara keduanya, Bourdieu mengemukakan analitisnya tentang reproduksi kebudayaan.
d)            Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan skema yang terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema inilah orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Bourdieu, 1998: 18). Sebenarnya, kita dapat menganggap habitus sebagai “akal sehat” (common sense) (Holton, 2000). Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Habitus bervariasi tergantung pada sifat posisi seseorang di dunia sosial, tidak semua orang memiliki habitus yang sama. Namun, mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki habitus yang sama (Bourdieu, 1990: 13). Sedangkan di dalam kamus sosiologi habitus yaitu perpaduan berbagai kecenderungan sehingga tindakan dan sikap pada kehidupan sehari-hari menjadi kebiasaan sehingga akhirnya diterima begitu saja.
e)             Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, simbolis) yang digunakan dan dimanfaatkan. Ada sejumlah arena semi otonom di dunia sosial (misalnya, artistik, religius, perguruan tinggi), yang kesemuanya memiliki logika spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan aktor tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan di suatu arena. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya, sebagai arena pertempuran: “Arena juga merupakan arena pertempuran” (Bourdieu dan Wacquant, 1992: 101). Kalau habitus ada di dalam pikiran aktor, maka arena berada di luar pikiran mereka.
f)             Dalam karyanya yang berjudul Distinction, Bourdieu menerangkan penerapan habitus dengan arena. Dalam karyanya tersebut, ia mencoba menunjukkan bahwa kebudayaan dapat menjadi objek sah dari study ilmiah, hal yang lebih spesifik lagi dari kebudayaan, dia menganalisis selera akan masakan yang dimasak khusus dan berselera tinggi dengan makanan yang hanya terbuat dari bahan-bahan pokok. Selera, menurut Bourdieu merupakan praktik yang di antaranya memberi individu, maupun orang lain, pemahaman akan statusnya di masyarakat. Selera menyatukan mereka yang berada pada posisi yang sama dan membedakannya dari mereka yang memiliki selera berbeda. Secara langsung maupun tidak, dengan selera maka orang akan mengklasifikasikan dirinya sendiri pada tataran kelas-kelas sosial tertentu. Selera adalah kesempatan baik untuk menyatakan posisi seseorang dalam arena dan membawa dampak bagi kemampuan seseorang yang berada kelas yang tinggi untuk lebih mampu membuat selera mereka diterima dan menentang selera mereka yang berada pada kelas yang lebih rendah.
g)            Bourdieu menghubungkan selera dengan salah satu konsep utamanya yaitu habitus. Selera lebih banyak dibentuk oleh penempatan-penempatan yang membentuk kesatuan tak sadar suatu kelas dan mengakar kuat serta bertahan lama, habitus memberikan kita akan pemahaman makna akan bentuk dari hasil kebudayaan seperti perabot, pakaian, dan masakan. Bourdieu selanjutnya mengemukakannya dengan lebih menarik: “selera adalah pengatur pertandingan……yang didalamnya habitus menegaskan kedekatannya dengan habitus lain” (1984a: 243). Kendati arena dan habitus adalah dua hal penting bagi Bourdieu, namun yang paling penting adalah hubungan dialektis diantara keduanya; bahwa arena dan habitus saling memberi arti satu sama lain. Dalam bentuk yang lebih umum, Bourdieu menjelaskan: “terdapat hubungan erat antara posisi sosial dan disposisi agen yang mendudukinya” (1984a: 110). Dalam kehidupan masyarakat, suatu tindakan yang sama dapat memperoleh suatu makna dan nilai yang berbeda atau bahkan bertolak belakang jika dilakukan di arena yang berbeda, di konfigurasi yang berbeda, atau di sektor yang saling bertolak belakang di  arena yang sama.

B.            Proses Lahirnya Teori Reproduksi Sosial
Perspektif tentang reproduksi sosial merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori konflik-nya Karl Mark–perlu difahami lebih dulu tentang latar belakang pemikiran Mark yakni  adanya eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pemilih modal/pengusaha (kaum kapitalis yang dikenal juga dengan istilah kaum borjuis) terhadap kaum buruh (yang disebut juga dengan kaum proletar).
Teori konflik menekankan adanya konflik sebagai faktor terjadinya perubahan sosial. Berbeda dengan teori fungsional yang menghendaki keseimbangan dan stabilitas dan menghindari perubahan sosial,  teori ini lebih menekankan terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan sesuatu yang harus diwujudkan di masyarakat. Faktor utama yang mendorongterjadinya perubahan sosial adalah adanya konflik yang terjadi di masyarakat. Menurut Marx perubahan tidak saja dianggap normal, tetapijustru dibutuhkan dan terus didorong untuk menghilangkan ketidakadilan. Sehingga teori ini menekankan masyarakat sebagai subyek perubahan. Menurut perspektif ini, seluruh sistem pendidikan adalah alat untuk menyebarkan ideologi kelompok dominan. Sehingga, pendidikan merupakan sarana untuk mencapai kemakmuran dan status seseorang. Ketika seseorang gagal dalam mencapai tujuan itu, menurut mitos tersebut, adalah hanya karena kesalannya sendiri bukan karena penyebab di luar dirinya.
Kaum Marxis meyakini bahwa kontradiksi material adalah asal-muasal dari segala sesuatu yang membuat hubungan antara sesama menjadi centang-perentang. Manusia didorong oleh insting (naluri) untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan adalah kontradiksi (masalah) karena ia membutuhkan jawaban atau perlu diatasi. Karl Mark menyebutnya sebagai sebuah tatanan sosial.6Sosialisme dianggap sebagai muara dari evolusi hubungan manusia yang sejati karena di dalamnya kontradiksi dalam hubungan produksi setara, berbeda dengan kapitalisme yang mana alat-alat produksi dikuasai secara monopolis oleh sedikit orang (kapitalis). Sosialisme menghendaki adanya sosialisasi alat-alat produksi dan sumber-sumber ekonomi, kepemilikan pribadi (private property) terutama bagi aset-aset vital dan menentukan hajat hidup orang banyak. Kepemilikan itulah yang menjadi sumber kontradiksi hubungan antar manusia.
Pendekatan Marxis menyebutkan tiga hal yang menjadi pokok persoalan dalam hubungan sosial yakni: Deterministik bahwaseseorang tidak punya pilihan karena masa depan mereka ditentukan oleh struktur ekonomi dan posisi mereka di dalamnya; Struktural bahwaapapun yang dilakukan seseorang dalam struktur ekonomi akan berakhir pada reproduksi itu sendiri; danMaterialis bahwa muara dari hubungan sosial terpusat pada bahan serta kondisi ekonomi, struktur ekonomi dan pekerjaan.
Perspektif ini kemudian dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang lantas melahirkan teori reproduksi sosial. Dua konsep utama dan krusial bagi karya Bourdieu adalah istilah habitus dan ranah (field). Konsep-konsep penting tersebut ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi dan perjuangan (kekuasaan simbolik dan material), beserta beragam jenis modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik.
Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Habitus juga merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas social. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami menghargai serta mengevaluasi realitas social. Berbagai skema tercakup didalam habitus seperti konsep ruang, waktu, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna-tidak berguna, benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan, indah-jelek, terhormat-terhina. Skema tersebut diwujudkan didalam istilah sebagai hasil penamaan. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam setiap keseharian mereka.Skema tersebut diatas dapat dicontohkan dengan skema “sakit” yang merujuk pada suatu kondisi fisik yang tidak menyenangkan yang dialami oleh manusia. Karena sakit tidak menyenangkan maka tindakan manusia harus diarahkan untuk menghindarinya, termasuk menghindari orang-orang yang mungkin menyebabkan munculnya kondisi sakit.
Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural yakni pengaruh sejarah yang tidak disadari dianggap alamiah. Oleh karena itu habitus bukanlah pengetahuan ataupun ide bawaan. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu teretentu. Habitus menurut Bourdieu merupakan hasil pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan masyarakat di dalam arti luas. Pembelajaran yang dilakukan terkadang tidak kita sadari dan secara halus dan tampil sebagai sesuatu yang wajar, sehingga akan kelihatan alamiah atau berasal dari sananya. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai dunia yang memberikan konstribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Habitus juga berubah-ubah yang mengupayakan adanya kompromi dengan kondisi material. Hal ini akan memberikan konstribusi baru untuk membangun sebuah prinsip baru untuk memunculkan sebuah praktik di dalam individu.
Bourdie menekankan bahwa habitus adalah konstruksi perantara bukan konstruksi yang mendeterminasi. Habitus juga merupakan sebuah sifat yang tercipta karena kebutuhan. Habitus berhubungan dengan harapan-harapan dalam kaitannya dalam bentuk modal yang secara erat diimbangi dengan berbagai kemungkinan obyektif. Habitus secara erat dihubungkan dengan modal karena sebagian habitus tersebut yang berupa fraksi sosial dan budaya berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal. Dan pada kenyataannya ia menciptakan sebentuk modal simbolik didalam dan dari diri mereka sendiri.
Ranah diartikan sebagai sesuatu yang dinamis dimana ranah merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan didalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini di pandang mentransformasikan atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal untuk para aktor yang berlokasi di ranah tersebut. Ketika posisi telah dicapai maka mereka dapat melakukan interaksi dengan habitus untuk menghasilkan sikap-sikap yang berbeda dan memiliki efek tersendiri pada ekonomi.
Bourdieu mencoba memberikan contoh ranah yang digambarkan di dalam analisisnya tentang pendidikan tinggi di Prancis, dimana penggambaran ranah ada pada seluruh fakultas, grande ecole, petite ecole dan sekolah-sekolah tinggi teknik. Aspek utama yang mengkarakteristikkan seluruh institusi ini dan juga mahasiswa yang beserta aspirasi yang mereka miliki tentang pendidikan merupakan integrasi antara praktik pendidikan dan struktur objektif. Mahasiswa Paris berhadapan dengan berbagai prospek kerja yang sangat bergantung pada kualitas gelar mereka dan pada peringkat sebagai simbolik dan objektif sekolah tersebut di dalam ranah pendidikan. Sehingga ranah bukanlah suatu konstruksi teoritis yang diberlakukan secara apriori, tetapi suatu konstruksi yang hanya dapat ditentukan melalui riset empiris dan penelitian etnografis.
Ruang sosial sebagai bentuk dari ranah memandang realitas sosial sebagai topologi (ruang) yang terdiri dari beragam ranah yang memiliki sejumlah hubungan antara satu dengan yang lainnya. Ruang sosial hendaknya dilihat pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi sebagai sebuah ranah kekuatan. Ide mengenai ruang sosial tidak dapat dipaksakan secara apriori melainkan harus dimengerti dari pengamatan empiris, coraknya yang tepat, dan konfiguirasi kekutan-kekuatannya yang diperoleh dari bukti yang tersedia.
Bourdieu dipandang telah mampu menjelaskan secara komprehensif bagaimana terjadinya praktik sosial. Bourdieu berhasil merumuskan sebuah teori tentang praktik sosial yang memberi kerangka bagi analisis terhadap kehidupan sosial secara indigenous. Dengan konsep habitus, ranah, modal atau kapital dan praktik yang dapat digunakan untuk menggali keunikan yang ada didalam masyarakat mulai dari karakteristik subjektif individu sampai karakteristik dari struktur objektif. Konsep tersebut digunakan untuk memahami hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linier dan khas yang ada di dalam masyarakat. Dengan metode tersebut kita dapat memahami bagaimana sebuah nilai, norma, pengetahuan dan tindakan sosial itu terbentuk.


C.           Proses Reproduksi Budaya
Reproduksi budaya merupakan proses presentasi budaya asal terhadap budaya yang didatangi atau lingkungan baru. Proses reproduksi budaya adalah proses aktif yang melatarbelakangi seseorang melakukan adaptasi terhadap budaya yang berbeda. Proses reproduksi budaya dapat terjadi melalui mobilitas sosial yang dilakukan oleh seseorang, dari mobilitas sosial tersebut terjadi perubahan dalam wilayah tempat tinggal, latar belakang budaya, yang akhirnya menjadi warna bagi budaya.
Mobilitas sosial adalah proses suatu gerakan atau perpindahan yang dilakukan oleh seseorang baik itu secara vertical ataupun horizontal. Dengan mobilitas sosial seseorang akan mendapatkan nilai-nilai baru yang berbeda dari budaya yang dimilikinya. Mobilitas yang dilakukan oleh seseorang akan menyebabkan perubahan dalam beberapa aspek seperti perubahan lingkunagn tempat tinggal, perbedaan pada latar belakang budaya. Setelah hal itu terjadi akan muncul dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, terjadi adaptasi cultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adapatasi nilai dan praktik keeidupan secara umum.kebuadayaan local menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Kedua, proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan mampu ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru.

D.           Hubungan antara Pendidikan dengan Reproduksi Sosial dan Budaya
Ada pandangan yang kuat di kalangan para pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar mengajar, di antaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial ekonomi dalam kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, hakikat pendidikan bagi golongan mereka tidak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil, seperti sistem kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Pandangan seperti ini sering disebut dengan pendidikan sebagai reproduksi sosial.
Pola pendidikan semacam ini telah lama dijalankan oleh bangsa Indonesia. Pola pendidikan ini telah melahirkan orang-orang yang siap dipakai untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Out-put pendidikan seperti ini adalah orang-orang yang diatur sedemikian rupa untuk mengisi kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini, pendidikan adalah wahana penjinakan atau alat hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok dominan. Proses aktualisasi dalam belajar mengajar seperti ini adalah sama dengan yang dikritik oleh Paule Freire dengan teori Banking Concept of Education (BCE).
Menurut Freire, setidaknya terdapat tiga asumsi —yang menurutnya tidak tepat— yang melatarbelakangi BCE.  Pertama, pemahaman yang keliru tentang manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton dan bukan re-kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya. Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke dalam tindakan belajar mengajar di kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada murid. Hubungan guru-murid adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi. Apa yang akan dihasilkan oleh BCE? Menurut Freire, BCE tidak akan mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia.
Lebih lanjut, Freire menegaskan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi.
Reproduksi sosial menuntut suatu proses legitimasi. Ideologi “kesetaraan kesempatan” telah dicanangkan melalui suatu ingatan bahwa kekuatan sosial terlihat dalam bentuk pertukaran ekonomis, dan karena itu pasar kehilangan kredibilitasnya secara juju. Sejumlah penulis berpendapat bahwa ideologi balas jasa telah menempatkan dirinya sebagai tema yang tersahkan. Hal ini mengacu pada standar pencapaian, upaya perorangan, keterbatasan dan kehendak yang berbaur dengan pengertian rumusan kemampuan dalam hubungannya dengan tuntutan teknologi masyarakat yang maju. Ada bentuk lain bagaimana ideologi “balas jasa” meningkat pesat, dalam arti, tak hanya dalam bentuk pengakuan formal kemajuan melainkan juga melalui atribut pribadi yang ‘bukan sebagai kepribadian’. Kepicikan pengertian ini mencuat sebagai upaya pembenaran atas proses seleksi yang terjadi, alokasi, dan penghargaan sosial. Hal ini memerlukan suatu fleksibilitas dalam hubungannya dengan sistem pekerjaan. Keterkaitan antara pengakuan formal akademis yang cocok dengan jenis pekerjaan tertentu dan pribadi yang memegang gelar diabaikan dengan melibatkan karakter kepribadian menjadi pernilaian.
Tentu saja proses ini selalu terjadi, namun kini makin terlembagakan di sekolah-sekolah dan di tempat-tempat kerja. Proses ini terkait langsung dengan kebutuhan perorangan akan keterampilan-keterampilan di berbagai pangsa pasar kerja yang berbeda-beda. Proses tersebut terpaut langsung dengan kebutuhan perkembangan keterampilan-keterampilan pribadi dalam berbagai segmen pasar kerja. Sebagai isi ideologi yang selalu berubah maka perubahan itu juga terjadi di dalam praktik sosial yang menguatkan pengetahuan dunia sosial.
Tak hanya sebatas itu, relasi dan praktik sosial juga suatu bentukan ideologis dan melayani kepentingan alami ideologi bersangkutan. Hal ini menjadi persoalan penting dalam analisa reproduksi sosial yang menitik-beratkan pada ideologi sebagai kumpulan gagasan yang tak terpisahkan dari praktik sosial. Althusser tidak mempertimbangkan persoalan mediasi dan kontradiksi antara aparat ideologi dan lembaga.9 Althusser betul ketika beranggapan bahwa kompleks sekolah-keluarga merupakan ruang utama untuk mereproduksi relasi sosial suatu produksi. Namun dari sudut pandang feminis, justru penting mencari jalan keluar dari berbagai pertentangan itu daripada sekadar menganalisa kompleks ‘sekolah-keluarga’ yang saling menekan satu sama lain dalam rangka mempersiapkan orang masuk ke pasar kerja. Kompleks ‘sekolah-keluarga’ adalah arena yang menentukan bagi reproduksi sosial ‘femininitas’ dan ‘maskulinitas’. Namun demikian, lembaga keluarga dan sistem pendidikan hanya institusi pedagogis, dan diyakini demikian. Tak hanya keluarga atau sekolah sebagai lembaga yang meneruskan proses reproduksi sosial, tetapi juga ideologi berkuasa keluarga dan sistem pendidikan menjadi tempat bagi pembelajaran dan sosialisasinya.
BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.             Reproduksi sosial ialahpenggantian orang atau struktur dengan satu format baru yang mirip dengan yang asli, sehingga sistem sosial dapat berlangsung terus. Dalam reproduksi sosial terkandung proses untuk melestarikan atau melanggengkan karakteristik struktur sosial tertentu atau tradisi tertentu selama periode waktu tertentu juga.
2.             Lahirnya teori reproduksi sosial diawali dari teori konflik-nya Karl Mark yangmenekankan adanya konflik sebagai faktor terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan sesuatu yang harus diwujudkan di masyarakat. Faktor utama yang mendorongterjadinya perubahan sosial adalah adanya konflik yang terjadi di masyarakat.Perspektif ini kemudian dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang lantas melahirkan teori reproduksi sosial.
3.             Pendidikan sebagai reproduski sosial memandang bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial seperti sistem kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Di sinilah terjadinya hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial.

B.            Saran
Sebagai manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan dan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, maka kami mohon kepada rekan-rekan mahasiswa dan Papak dosen kiranya dapat mengoreksi makalah ini, jika terdapat kesalahan-kesalahan baik dalam penyajian materi maupun segi penulisan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan sehingga dapat menjadi bahan acuan bagi penulisan selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Wojowasito & Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, (Bandung: Hasta, 1980), h. 160.
Leonard D. Marsam, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Surabaya: CV. Karya Utama, 1983), h. 221.
Dalam:http://uregina.ca/~gingrich/feb2498.htm, diakses, 12 Juni 2012.
Nurani Soyomukti,Teori-teori pendidikan, (Bandung: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 351.


EmoticonEmoticon